Baru-baru ini ada permasalahan
dalam melaksanakan proyek EPC yang menarik perhatian saya. Tentunya
sayang untuk tidak dituliskan dalam blog ini. Judul di atas adalah inti
masalahnya, walaupun memang tak sesimple itu. Etika profesi sebagai
Insinyur pun harus dipertaruhkan ketika akhirnya muncul tantangan untuk
menjamin kemampuan pondasi hingga 25 tahun.
Engine pembangkit yang satu ini memang
luar biasa. Berat sendiri hingga 380 ton per unitnya. Didatangkan dari
benua Eropa dimana mesin ini dibuat. Bukan pada masalah pembuatan engine
yang akan dibahas, melainkan pondasi yang menjadi dudukan engine selama
masa pakai engine itu sendiri.
Masalah ini sebenarnya sederhana, namun
menjadi rumit karena masalah sepele. Awalnya manufacture memberikan
design standart untuk pondasi engine adalah suatu block pondasi
berukuran tapak 5m x 18m dengan tinggi 1,2m. Dikarenakan culture VE yang
begitu melekat, akhirnya dicoba suatu dimensi yang diharapkan lebih
baik performancenya dengan menggunakan pondasi tiang pancang dengan
pengikat sloof tinggi yang dikombinasikan dengan pelat beton pada bagian
atasnya. Tiang pancang menjadi diperlukan lantaran kondisi tanah dasar /
permukaan yang kurang menguntungkan. VE tersebut juga dilandasi dengan
kenyataan bahwa engine duduk di atas base frame pada dua sisinya.
Sehingga idealisasi beban menjadi beban garis pada kedua sisi memanjang
pondasi. Kenyataan ini membawa pemikiran bahwa beban akan cenderung
meneruskan beban ke bawah secara memanjang pondasi. Bagian tengah
pondasi tentu saja diperkirakan tidak memikul beban sesuai dengan
kondisi beban yang ada. Pertimbangan lain adalah lokasi pondasi berada
pada daerah gempa zona 3. Sehingga diperlukan suatu design pile cap yang
tidak berat namun kuat mengingat gaya lateral gempa yang cukup besar di
samping pertimbangan resonansi antara engine dan pondasi.
Akhirnya diusulkan pondasi dengan 12
tiang pancang (masing-masing 6 tiap lajur) dengan dimensi pondasi berupa
sloof tinggi berukuran 60×120 secara memanjang dan diikat oleh sloof
melintang berukuran 40×80 di tiap titik pondasi dan pelat beton tebal 50
cm. Design ini sangat memperhatikan beban aksial engine dan gempa
dimana beban pile cap menjadi jauh lebih kecil dari yang dikeluarkan
oleh pabrik. Sebagai catatan bahwa pabrik jelas belum mempertimbangkan
aspek gempa dan pabrik tentu saja hanya mempertimbangkan aspek dinamis
dan yang pasti konservatif. Design tersebut dianalisis dan dicek
terhadap kapasitas dukung tanah, tiang pancang, gaya gempa sesuai zona
gempa, dan tentu saja kemungkinan terjadi resonansi disamping aspek
fatique beton, defeksi statik, serta defleksi akibat dinamis seperti
rocking. Hasilnya design tersebut cukup aman untuk mendukung beban yang
ada.
Masalah kemudian muncul karena konsultan
yang menginginkan pondasi engine harus memiliki berat 2 kali berat
engine atau memiliki berat 760 ton. Berat pondasi yang jika menggunakan
jenis pondasi block akan memiliki tinggi pile cap sekitar 3,0 m. Apa
yang menjadi landasan konsultan? Dia mengacu pada buku Surash Arya yang
mengatakan initial design untuk deep pile engine foundation adalah 1,5-4
kali berat engine. Jika tidak memenuhi kaidah itu, maka design
rejected! Wow….terfikirkankah akan efek gempa yang sangat besar?risiko
defleksi dan yang lainnya? Menurut saya ini menjadi sikap yang cukup
berbahaya karena pemahaman yang tidak menyeluruh dan tidak filosofis.
Mari kita lihat tulisan dari Surash Arya yang dimaksud.
Ini adalah kasus nyata yang menurut saya
cukup menyentuh etika profesi Insinyur Teknik Sipil. Memang perhitungan
dinamis tidaklah sederhana bahkan bisa tergolong paling rumit diantara
perhitungan yang lain seperti statik murni atau dengan kombinasi gempa.
Konsultan harusnya menyadari bahwa initial design untuk trial dimension
bukanlah hal yang kaku menurut Surash Arya. Hal yang paling penting
untuk pondasi engine adalah bahwa tidak terjadi resonansi sebagai akibat
natural frequency pondasi yang dekat dengan frequency engine. Dalam hal
ini batas resonansi adalah rasio frekuensi sebesar <0,8 (high tuned)
dan >1,2 (low tuned). Kondisi batas dapat dilihat pada grafik di
bawah. Di samping itu, konsultan haruslah melihat analisis dan parameter
check secara teknik sipil yang menjadi inti bahwa design telah memenuhi
persyaratan yang umumnya meliputi statik, gempa, displacement, fatique,
dll.
Surash Arya hanya mengatakan initial
design yang tidak menjadi penentu design. Disebutkan pula bahwa jika
design tidak sesuai maka harus melakukan trial dimension ulang. Lalu
perlu dilihat bahwa gaya dinamis yang dikeluarkan oleh pabrik engine
untuk proyek ini sangatlah kecil karena teknologi vibration isolator
dengan menggunakan spring mounted dan flexible coupling antara engine
dan generator yang sudah semakin maju sedemikian hingga beban dinamis
menjadi sangat kecil. Haruskah kemajuan teknologi ini diabaikan dalam
analisis teknik sipil? Menjadi aneh kemudian jika konsultan berargumen
bahwa design harus mengasumsi bahwa spring mounted mengalami fatique
atau failure. Padahal “service life”nya yang panjang dan tidak serta
merta mengalami failure secara seketika dan dapat diganti dengan mudah
jika terjadi fatique. (spring mounted diproduksi oleh perusahaan bidang
vibration isolator : vibratek akustikprodukter, Sweden)
Jika pola pikir yang demikian, tentu
kita tak bisa menikmati kemajuan teknologi yang memungkinkan kita bisa
bepergian dengan pesawat terbang, saling berkomunikasi jarak jauh dengan
media canggih, membangun gedung pencakar langit, dan lain sebagainya.
Memahami ilmu jelas tidak bisa kaku,
parsial, ataupun dangkal. Ilmu harus dipahami secara filosofis untuk
memahami alam semesta ini. Kita haruslah berdiri tegak pada ilmu, bukan
pada motif lain.
Tim proyek lalu mencoba untuk mendalami
literatur lain mengenai trial sizing atas pondasi engine. Berdasarkan
journal “Foundation for Vibration Engine” yang ditulis oleh Prof.
Shamsher Prakash dan Prof. Vijay K. Puri tahun 2006, disebutkan bahwa
trial dimension dapat menggunakan design standart yang dikeluarkan oleh
pabrik, namun tetap harus dianalisis berbagai parameter pentingnya.
Berdasarkan literatur di atas, lalu
dibuat suatu design berdasarkan standart pabrik berupa block foundation
berukuran tapak 5m x 18m dengan tinggi 1,2m dengan jumlah titik tiang
pancang menjadi 17 titik (spun pile dia. 40 cm) dimana gaya dinamis
mengacu pada output yang dikeluarkan oleh pabrik (sangat kecil). Pada
design ini, semua paramater dianalisis dan hasilnya ada bahwa design
sangat aman dimana single pile capacity adalah 70 ton.
Pada akhirnya, posting ini dengan cukup
meyakinkan mengatakan bahwa ketentuan pada initial / trial dimension
yang disebutkan oleh surash arya hanyalah suatu pendekatan empirik pada
masa lalu (disebutkan pula oleh Surash Arya) dimana manufarturer /
pabrik belum mengeluarkan design standart ataupun karena keterbatasan
data dan teknologi mesin pada masa lalu karena buku tersebut diterbitkan
pada tahun 1979. Pertimbangan utama haruslah pada hasil analisis teknik
sipil yang lebih mendalam dengan parameter check yang lebih kompleks
demi tercapainya suatu design yang lebih baik. Perlu pula
mempertimbangkan aspek gempa yang justru lebih kritis karena Indonesia
terletak pada wilayah yang memiliki risiko gempa tinggi. Pedoman design
pile cap yang harus memiliki berat 2-4 kali berat engine tidak bisa
menjadi pedoman, bahkan cukup berbahaya karena mengabaikan variabel lain
seperti kondisi tanah dan zona gempa.
Tulisan ini dibuat sama sekali tidak
untuk memojokkan seseorang ataupun institusi tertentu. Tulisan ini
justru ingin memberikan penjelasan singkat mengenai lesson learn atas
suatu kasus demi kemajuan dunia teknik sipil di Indonesia. Semoga dunia
teknik sipil kita menjadi cepat lebih maju..