Minggu, 22 Juli 2012

Berat Pondasi Engine Harus 1,5 Hingga 4 Kali Berat Engine?


Baru-baru ini ada permasalahan dalam melaksanakan proyek EPC yang menarik perhatian saya. Tentunya sayang untuk tidak dituliskan dalam blog ini. Judul di atas adalah inti masalahnya, walaupun memang tak sesimple itu. Etika profesi sebagai Insinyur pun harus dipertaruhkan ketika akhirnya muncul tantangan untuk menjamin kemampuan pondasi hingga 25 tahun.
Engine pembangkit yang satu ini memang luar biasa. Berat sendiri hingga 380 ton per unitnya. Didatangkan dari benua Eropa dimana mesin ini dibuat. Bukan pada masalah pembuatan engine yang akan dibahas, melainkan pondasi yang menjadi dudukan engine selama masa pakai engine itu sendiri.
Engine Pembangkit Listrik 16 MW
Masalah ini sebenarnya sederhana, namun menjadi rumit karena masalah sepele. Awalnya manufacture memberikan design standart untuk pondasi engine adalah suatu block pondasi berukuran tapak 5m x 18m dengan tinggi 1,2m. Dikarenakan culture VE yang begitu melekat, akhirnya dicoba suatu dimensi yang diharapkan lebih baik performancenya dengan menggunakan pondasi tiang pancang dengan pengikat sloof tinggi yang dikombinasikan dengan pelat beton pada bagian atasnya. Tiang pancang menjadi diperlukan lantaran kondisi tanah dasar / permukaan yang kurang menguntungkan. VE tersebut juga dilandasi dengan kenyataan bahwa engine duduk di atas base frame pada dua sisinya. Sehingga idealisasi beban menjadi beban garis pada kedua sisi memanjang pondasi. Kenyataan ini membawa pemikiran bahwa beban akan cenderung meneruskan beban ke bawah secara memanjang pondasi. Bagian tengah pondasi tentu saja diperkirakan tidak memikul beban sesuai dengan kondisi beban yang ada. Pertimbangan lain adalah lokasi pondasi berada pada daerah gempa zona 3. Sehingga diperlukan suatu design pile cap yang tidak berat namun kuat mengingat gaya lateral gempa yang cukup besar di samping pertimbangan resonansi antara engine dan pondasi.
Akhirnya diusulkan pondasi dengan 12 tiang pancang (masing-masing 6 tiap lajur) dengan dimensi pondasi berupa sloof tinggi berukuran 60×120 secara memanjang dan diikat oleh sloof melintang berukuran 40×80 di tiap titik pondasi dan pelat beton tebal 50 cm. Design ini sangat memperhatikan beban aksial engine dan gempa dimana beban pile cap menjadi jauh lebih kecil dari yang dikeluarkan oleh pabrik. Sebagai catatan bahwa pabrik jelas belum mempertimbangkan aspek gempa dan pabrik tentu saja hanya mempertimbangkan aspek dinamis dan yang pasti konservatif. Design tersebut dianalisis dan dicek terhadap kapasitas dukung tanah, tiang pancang, gaya gempa sesuai zona gempa, dan tentu saja kemungkinan terjadi resonansi disamping aspek fatique beton, defeksi statik, serta defleksi akibat dinamis seperti rocking. Hasilnya design tersebut cukup aman untuk mendukung beban yang ada.
Masalah kemudian muncul karena konsultan yang menginginkan pondasi engine harus memiliki berat 2 kali berat engine atau memiliki berat 760 ton. Berat pondasi yang jika menggunakan jenis pondasi block akan memiliki tinggi pile cap sekitar 3,0 m. Apa yang menjadi landasan konsultan? Dia mengacu pada buku Surash Arya yang mengatakan initial design untuk deep pile engine foundation adalah 1,5-4 kali berat engine. Jika tidak memenuhi kaidah itu, maka design rejected! Wow….terfikirkankah akan efek gempa yang sangat besar?risiko defleksi dan yang lainnya? Menurut saya ini menjadi sikap yang cukup berbahaya karena pemahaman yang tidak menyeluruh dan tidak filosofis. Mari kita lihat tulisan dari Surash Arya yang dimaksud.
Trial Sizing oleh Surash Arya 1

Trial Sizing oleh Surash Arya 2

Trial Sizing oleh Surash Arya 3

Ini adalah kasus nyata yang menurut saya cukup menyentuh etika profesi Insinyur Teknik Sipil. Memang perhitungan dinamis tidaklah sederhana bahkan bisa tergolong paling rumit diantara perhitungan yang lain seperti statik murni atau dengan kombinasi gempa. Konsultan harusnya menyadari bahwa initial design untuk trial dimension bukanlah hal yang kaku menurut Surash Arya. Hal yang paling penting untuk pondasi engine adalah bahwa tidak terjadi resonansi sebagai akibat natural frequency pondasi yang dekat dengan frequency engine. Dalam hal ini batas resonansi adalah rasio frekuensi sebesar <0,8 (high tuned) dan >1,2 (low tuned). Kondisi batas dapat dilihat pada grafik di bawah. Di samping itu, konsultan haruslah melihat analisis dan parameter check secara teknik sipil yang menjadi inti bahwa design telah memenuhi persyaratan yang umumnya meliputi statik, gempa, displacement, fatique, dll.
Surash Arya hanya mengatakan initial design yang tidak menjadi penentu design. Disebutkan pula bahwa jika design tidak sesuai maka harus melakukan trial dimension ulang. Lalu perlu dilihat bahwa gaya dinamis yang dikeluarkan oleh pabrik engine untuk proyek ini sangatlah kecil karena teknologi vibration isolator dengan menggunakan spring mounted dan flexible coupling antara engine dan generator yang sudah semakin maju sedemikian hingga beban dinamis menjadi sangat kecil. Haruskah kemajuan teknologi ini diabaikan dalam analisis teknik sipil? Menjadi aneh kemudian jika konsultan berargumen bahwa design harus mengasumsi bahwa spring mounted mengalami fatique atau failure. Padahal “service life”nya yang panjang dan tidak serta merta mengalami failure secara seketika dan dapat diganti dengan mudah jika terjadi fatique. (spring mounted diproduksi oleh perusahaan bidang vibration isolator : vibratek akustikprodukter, Sweden)
Jika pola pikir yang demikian, tentu kita tak bisa menikmati kemajuan teknologi yang memungkinkan kita bisa bepergian dengan pesawat terbang, saling berkomunikasi jarak jauh dengan media canggih, membangun gedung pencakar langit, dan lain sebagainya.
Memahami ilmu jelas tidak bisa kaku, parsial, ataupun dangkal. Ilmu harus dipahami secara filosofis untuk memahami alam semesta ini. Kita haruslah berdiri tegak pada ilmu, bukan pada motif lain.
Tim proyek lalu mencoba untuk mendalami literatur lain mengenai trial sizing atas pondasi engine. Berdasarkan journal “Foundation for Vibration Engine” yang ditulis oleh Prof. Shamsher Prakash dan Prof. Vijay K. Puri tahun 2006, disebutkan bahwa trial dimension dapat menggunakan design standart yang dikeluarkan oleh pabrik, namun tetap harus dianalisis berbagai parameter pentingnya.
“Foundation for Vibration Engine” by Prakash &Vijay, 2006, hal. 8
“Foundation for Vibration Engine” by Prakash &Vijay, 2006, hal. 9
Berdasarkan literatur di atas, lalu dibuat suatu design berdasarkan standart pabrik berupa block foundation berukuran tapak 5m x 18m dengan tinggi 1,2m dengan jumlah titik tiang pancang menjadi 17 titik (spun pile dia. 40 cm) dimana gaya dinamis mengacu pada output yang dikeluarkan oleh pabrik (sangat kecil). Pada design ini, semua paramater dianalisis dan hasilnya ada bahwa design sangat aman dimana single pile capacity adalah 70 ton.
Pada akhirnya, posting ini dengan cukup meyakinkan mengatakan bahwa ketentuan pada initial / trial dimension yang disebutkan oleh surash arya hanyalah suatu pendekatan empirik pada masa lalu (disebutkan pula oleh Surash Arya) dimana manufarturer / pabrik belum mengeluarkan design standart ataupun karena keterbatasan data dan teknologi mesin pada masa lalu karena buku tersebut diterbitkan pada tahun 1979. Pertimbangan utama haruslah pada hasil analisis teknik sipil yang lebih mendalam dengan parameter check yang lebih kompleks demi tercapainya suatu design yang lebih baik. Perlu pula mempertimbangkan aspek gempa yang justru lebih kritis karena Indonesia terletak pada wilayah yang memiliki risiko gempa tinggi. Pedoman design pile cap yang harus memiliki berat 2-4 kali berat engine tidak bisa menjadi pedoman, bahkan cukup berbahaya karena mengabaikan variabel lain seperti kondisi tanah dan zona gempa.
Tulisan ini dibuat sama sekali tidak untuk memojokkan seseorang ataupun institusi tertentu. Tulisan ini justru ingin memberikan penjelasan singkat mengenai lesson learn atas suatu kasus demi kemajuan dunia teknik sipil di Indonesia. Semoga dunia teknik sipil kita menjadi cepat lebih maju..

Problem Solving Ala Kontraktor : Mengatasi Masalah Dengan Masalah


Berbeda dengan motto Pegadaian yang “mengatasi masalah tanpa masalah”, Kontraktor kita tampil agak beda. Kontraktor kita tidak sadar jika menganut paham yang “mengatasi masalah dengan masalah”. Tentu tidak semuanya seperti itu. Tapi setujukah anda jika hal tersebut cukup sering terjadi dalam dunia proyek konstruksi kita?

“Mengatasi masalah dengan masalah”, kira-kira seperti itulah motto problem solving yang mungkin dianut oleh kebanyakan kontraktor di dunia konstruksi kita. Pasti ada alasannya hingga disimpulkan seperti itu. Tapi setidaknya, saya cukup yakin bagi anda yang cukup lama berkecimpung dalam dunia proyek di Indonesia akan menyimpulkan hal yang serupa.
Kita telah ketahui bahwa dalam pelaksanaan proyek sering ditemui masalah sebagai akibat dari kompleksitas proyek itu sendiri. Adanya masalah di proyek adalah biasa bagi orang yang berkecimpung di dunia proyek. Masalah kadang terjadi dalam jumlah yang banyak dalam waktu yang bersamaan.
Adanya masalah tentu harus diselesaikan dengan baik dan sesuai dengan kaidah teknis jika menyangkut masalah teknis di lapangan. Artinya masalah yang terjadi diselesaikan tanpa menimbulkan masalah baru. Ini idealnya. Tapi tidak bagi sebagian kontraktor di Indonesia. Mereka cenderung mengatasi masalah dengan masalah yang kadang membuat kondisi semakin rumit.
Pasti ada penyebab kenapa kontraktor melakukan hal tersebut. Berdasarkan pengamatan di lapangan, dapat disebutkan beberapa diantaranya yaitu:
  • Lemahnya pemahaman teknis
  • Kesalahan perencanaan
  • Kurangnya skill dalam pelaksanaan
  • Kurangnya keterbukaan dalam manajemen kontraktor
  • Kurangnya pengawasan atau sistem kontrol
  • Waktu pelaksanaan yang terlalu singkat
  • Motivasi tim proyek yang lemah
  • Attitude kerja yang buruk
Cara penyelesaian masalah ini akan menyebabkan kontraktor ibarat menyimpan bom waktu di proyek. Karena masalah yang ditutupi atau tidak terselesaikan dengan seharusnya pasti akan menimbulkan masalah baru di kemudian hari. Apa saja “menyelesaikan masalah dengan masalah”?. Berikut beberapa contoh kasus yang mungkin banyak terjadi di proyek:
  • Terjadi keropos hingga terlihat tulangan pada pengecoran balok beton. Apa yang dilakukan kontraktor? Mereka sering menambal keropos tersebut dengan menggunakan material mortar biasa segera setelah pembongkaran bekisting. Padahal pada kasus ini, material untuk menambal keropos harusnya material khusus yang mampu menggantikan beton yang terlepas. Akibatnya, setelah beban rencana tercapai, pada bagian tersebut terjadi retak yang berlebihan.
  • Pada pengecoran kadang ditemui masalah dimana slump beton tidak memenuhi syarat untuk dicor. Apa yang dilakukan oleh kontraktor? Mereka biasanya menambahkan air sedemikian beton terlihat kembali memiliki kelecakan yang cukup. Padahal menambah beton akan membuat mutu beton berkurang apalagi pada beton mutu tinggi. Ini akan menimbulkan masalah dikemudian hari dimana terjadi struktur beton yang lendut dan gampang retak padahal gedung belum mencapai beban rencana. Kontraktor harus melakukan perkuatan jika ini terjadi.
  • Item pekerjaan screed penutup waterproofing umumnya adalah pekerjaan rugi karena salah estimasi terkait metode pelaksanaan. Apa yang dilakukan kontraktor? Mereka mengurangi kandungan semen pada screed pelindung tersebut. Akibatnya screed menjadi sangat rapuh dan gampang terkelupas. Waterproofing menjadi tidak terlindung sehingga lebih cepat rusak. Gedung pun mengalami kebocoran.
  • Pada proyek yang mengalami keterlambatan secara bobot pada S-Curve, apa yang sering dilakukan oleh kontraktor? Mereka cenderung mendatangkan material yang dapat mengangkat bobot prestasi realisasi pekerjaan proyek. Proyek akan terlihat kembali “on the track”, tapi hal ini menyembunyikan potensi keterlambatan karena tidak disadarinya item pekerjaan jalur kritis yang harusnya mereka percepat. Proyek akhirnya tetap saja terlambat.

Masih banyak kasus yang mencirikan motto “menyelesaikan masalah dengan masalah” yang lain. Beberapa contoh di atas mudah-mudahan cukup memberikan gambaran mengenai problem solving ala kontraktor. Sekali lagi tidak semua kontraktor melakukan ini. Kontraktor yang sangat memperhatikan aspek kualitas dan waktu pelaksanaan, tidak akan menganut motto ini. Kontraktor tersebut sangat memperhatikan kredibilitas perusahaan mereka. Kontraktor tersebut akan berusaha menyelesaikan masalah dengan cara-cara yang profesional.
Sebutan dan kasus-kasus yang disebutkan di atas, sebetulnya hanyalah suatu “ketukan” agar kontraktor yang masih menganut paham “menyelesaikan masalah dengan masalah” dapat berubah menjadi lebih profesional. Karena walau bagaimanapun, bekerja dengan lebih profesional akan memberikan hasil yang lebih baik.

Contoh Perjanjian Kontraktor Independen


Keuntungn: Model perjanjian kontraktor independen ini dirancang untuk membantu Anda membuat konsep perjanjian yang mencerminkan kebutuhan dan situasi Anda. Di dalamnya tercantum semua unsur penting dari perjanjian kontraktor independen, termasuk spesifikasi yang jelas dari hubungan kontraktor independen. Apabila pekerja Anda diklasifikasikan sebagai "karyawan", dan bukan "kontraktor independen", maka Anda berkewajiban untuk pajak tambahan, pencatatan pembukuan, dan persyaratan keselamatan. Sebuah kontrak dapat mencegah hal ini terjadi dengan menunjukkan validitas dari hubungan kontraktor independen. Ingat bahwa dokumen ini barulah titik awal, bukan produk akhir. Anda perlu memastikan bahwa perjanjian ini mencerminkan hubungan antara bisnis Anda dan kontraktor independen. Bacalah kitab undang-undang di negara bagian Anda untuk persyaratan yang mempengaruhi penetapan kontraktor independen.
Keterangan File: File ini berisi dokumen sepanjang 5 halaman dengan format RTF (rich text format) yang sesuai untuk digunakan di kebanyakan program pengolah kata di lingkungan Windows.
Fitur Khusus: File terlampir berisi konsep perjanjian kontraktor independen yang dengan jelas berisi bagian berlabel tentang bidang-bidang perjanjian kontraktor independen berikut ini:
  • tugas, kompensasi, dan jangka kontrak
  • biaya dibayar tunai
  • laporan yang diperlukan
  • pernyataan tentang status sebagai kontraktor independen, bukan karyawan
  • pemutusan hubungan (karena kontraktor independen bukan karyawan, "pemutusan" ini akan dilakukan menurut peraturan yang disebutkan di dalam kontrak)
  • kerahasiaan
  • penemuan, peningkatan, dan inovasi yang dilahirkan oleh kontraktor selama jangka perjanjian
  • konflik kepentingan
  • perjanjian bukan perekrutan
  • hak untuk memerintahkan
  • status kontrak apabila terjadi merger
  • pengganti dan penugasan
  • pernyataan pilihan hukum
  • arbitrase
  • pelepasan hak
  • penugasan
  • pengumuman
  • amandemen peraturan kontrak
  • penegakan hukum
Dokumen juga berisi contoh lampiran yang dapat digunakan untuk menjelaskan, secara lebih terinci, tugas, syarat, dan kompensasi.

PRINSIP- PRINSIP UMUM MANAJEMEN PROYEK


Penyelenggaraan pekerjaan konstruksi di dalam manajemen proyek tergantung pada dua faktor utama yaitu : sumber daya dan fungsi manajemen. Sumber daya terdiri dari manusia, uang, peralatan, dan material, sedangkan fungsi manajemen dimaksudkan sebagai kegiatan-kegiatan yang dapat mengarahkan atau mengendalikan sekelompok orang yang tergabung dalam suatu kerja sama untuk mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan. Dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi, kegiatan yang dilakukan oleh sumber daya manusia, ditunjang dengan uang, material dan peralatan, perlu ditata melalui fungsi-fungsi manajemen dalam batas waktu yang disediakan sehingga memenuhi prinsip efisiensi dan efektivitas.
2.1 Sumber Daya
A. Manusia
Manusia sebagai sumber daya utama diartikan sebagai tenaga kerja baik yang terlibat langsung maupun tidak terlibat langsung dengan pekerjaan konstruksi. Tenaga yang terlibat langsung adalah tenaga kerja yang berada pada kelompok pemberi pekerjaan (pengguna jasa), kelompok kontraktor (penyedia jasa), dan kelompok konsultan (penyedia jasa). Berdasarkan kualifikasinya para tenaga kerja tersebut dapat dikelompokkan ke dalam “tenaga ahli” dan “tenaga terampil”. Pada Tabel 2.1. disajikan sebutan terhadap ketiga kelompok tersebut.
Tabel 2.1 Tenaga Kerja berdasarkan Kelompok
21
B. Uang
Uang merupakan sumber daya sangat penting dalam manajemen proyek. Ketidakcukupan uang, sulit untuk mengharapkan penyelenggaraan manajemen proyek sesuai dengan ikatan kontrak yang disepakati antara para pihak yang menandatangani perjanjian kontrak. Seluruh kegiatan penyelenggaraan pekerjaan konstruksi pada seluruh kelompok yang terlibat, memerlukan biaya yang besarnya telah disepakati di dalam surat perjanjian kontrak. Jika terjadi ketidaksepakatan (dispute) dalam pelaksanaan pekerjaan, biasanya berdampak pada “nilai uang” yang harus disepakati, dokumen kontrak telah mengatur tata cara penyelesaian hukum yang harus ditempuh.
Uang sangat penting karena seluruh kegiatan pekerjaan konstruksi memerlukan pembiayaan, menyangkut : rekruitmen manusia (tenaga kerja); penggunaan jasa tenaga kerja (tenaga ahli, tenaga terampil, tenaga non skill); penggunaan peralatan (alat-alat berat maupun alat-alat laboratorium); pembelian bahan dan material, pengolahan bahan dan material, baik bagi kelompok pengguna jasa maupun penyedia jasa. Jadi pengertian “uang” di dalam penyelenggaraan pekerjaan konstruksi (civil works) bukan semata-mata untuk pembiayaan pelaksanaan konstruksi oleh kontraktor, tetapi juga termasuk biaya yang harus dikeluarkan untuk konsultan perencana, konsultan pengawas dan untuk pengguna jasa dalam suatu kurun waktu yang telah disepakati.
C. Peralatan
Peralatan dalam pekerjaan konstruksi diartikan sebagai alat lapangan (alat berat), peralatan laboratorium, peralatan kantor (misalnya computer), dan peralatan lainnya. Dengan menggunakan peralatan yang sesuai sasaran pekerjaan dapat dicapai dengan ketepatan waktu yang lebih akurat, serta memenuhi spesifikasi teknis yang telah dipersyaratkan.
i. Alat-alat berat
Jenis peralatan dengan variasi kapasitas dan kegunaannya dapat digunakan untuk pekerjaan konstruksi jalan-jembatan sesuai fungsinya. Berdasarkan jenis peralatan dan fungsinya, dikaitkan dengan jenis pelaksanaan pekerjaannya dapat dikelompokan sebagaimana tertulis pada Tabel 2.2.
Pemilihan dan pemanfaatan peralatan harus sesuai dengan kebutuhan ditinjau dari jenis, jumlah, kapasitas maupun waktu yang tersedia. Demikian pula cara penggunaannya, harus mengikuti prosedur pengoperasian dan perawatannya, sesuai dengan fungsi masing-masing peralatan.
Tabel 2.2 Jenis peralatan dan penggunaannya
22
ii. Peralatan Laboratorium
Peralatan laboratorium diperlukan dalam rangka melakukan pengawasan dan pengendalian mutu atas pekerjaan konstruksi yang dilaksanakan oleh kontraktor. Jenis peralatan laboratorium dapat dilihat pada Tabel 2.3. Jenis, jumlah dan waktu diperlukannya peralatan-peralatan laboratorium tersebut tergantung pada ruang lingkup kegiatan pengawasan atas pekerjaan konstruksi.
Selain peralatan tersebut ada beberapa peralatan yang spesifik seperti untuk pengujian pondasi soil cement dan bahan-bahan struktur (beton, pasangan batu dan lain-lain).
Tabel 2.3 Jenis Pengujian dan Alat yang digunakan
23
D. Bahan
Bahan diartikan sebagai bahan baku natural maupun melalui pengolahan, dan setelah diproses ditetapkan menjadi item pekerjaan sebagaimana dituangkan di dalam dokumen kontrak. Bahan baku (tanah, batu, aspal, semen, pasir, besi beton, dll.) dan bahan olahan (agregat, adukan beton, pofil baja dll.) merupakan sumber daya yang harus diperhitungkan secara cermat, karena pengaruhnya di dalam perhitungan biaya pekerjaan konstruksi sangat besar. Oleh karena itu lokasi bahan baku perlu secara cermat ditetapkan berdasar jarak dan volume yang tersedia, memenuhi syarat menjadi bahan olahan. Survai untuk mendapatkan informasi lokasi bahan baku perlu dilakukan, guna mendapatkan data akurat sebagai masukan bagi kontraktor dalam menyiapkan penawaran, maupun pada tahap pelaksanaan pekerjaan.
2.2 Fungsi Manajemen
Untuk melaksanakan manajemen, seorang pada posisi pimpinan di level manapun, harus melakukan fungsi-fungsi manajemen. Di dalam fungsi-fungsi manajemen ada fungsi organik yang mutlak harus dilaksanakan dan ada fungsi penunjang yang bersifat sebagai pelengkap. Jika fungsi organik tersebut tidak dilakukan dengan baik maka terbuka kemungkinan pencapaian sasaran menjadi gagal. George R. Terry telah merumuskan fungsi-fungsi tersebut sebagai POAC (Planning, Organizing, Actuating dan Controlling).
A. Planning
Planning adalah proses yang secara sistematis mempersiapkan kegiatan guna mencapai tujuan dan sasaran tertentu. Kegiatan diartikan sebagai kegiatan yang dilakukan dalam rangka pekerjaan konstruksi, baik yang menjadi tanggung jawab pelaksana (kontraktor) maupun pengawas (konsultan). Kontraktor maupun konsultan, harus mempunyai konsep planning” yang tepat untuk mencapai tujuan sesuai dengan tugas dan tanggung jawab masing-masing.
Pada proses planning perlu diketahui hal-hal sebagai berikut :
- Permasalahan yang terkait dengan tujuan dan sumber daya yang tersedia.
- Cara mencapai tujuan dan sasaran dengan memperhatikan sumber daya yang tersedia.
- Penerjemahan rencana kedalam program-program kegiatan yang kongkrit.
- Penetapan jangka waktu yang dapat disediakan guna mencapai tujuan dan sasaran, (seluruh tahap: -proses pengadaan, -pelaksanaan dan pengawasan konstruksi; dan FHO).
B. Organizing
Organizing (pengorganisasian kerja) dimaksudkan sebagai pengaturan atas suatu kegiatan yang dilakukan oleh sekelompok orang, dipimpin oleh pimpinan kelompok dalam suatu wadah organisasi. Wadah organisasi ini menggambarkan hubungan-hubungan struktural dan fungsional yang diperlukan untuk menyalurkan tanggung jawab, sumber daya maupun data.
Dalam proses manajemen, organisasi digunakan sebagai alat untuk :
- menjamin terpeliharanya koordinasi dengan baik.
- membantu pimpinannya dalam menggerakkan fungsi-fungsi manajemen.
- mempersatukan pemikiran dari satuan organisasi yang lebih kecil yang berada di dalam kordinasinya.
Dalam fungsi organizing, koordinasi merupakan mekanisme hubungan struktural maupun fungsional yang secara konsisten harus dijalankan. Koordinasi dapat dilakukan melalui mekanisme :
- koordinasi vertikal (menggambarkan fungsi komando),
- koordinasi horizontal (menggambarkan interaksi satu level); dan
- koordinasi diagonal (menggambarkan interaksi berbeda level tapi di luar fungsi komando).
Koordinasi diagonal apabila diintegrasikan dengan baik akan memberikan kontribusi signifikan dalam menjalankan fungsi organizing.
Sebagai contoh, dapat dijelaskan sebagai berikut:
- Koordinasi vertikal dan bersifat hirarkis:
a. Pelaksana Konstruksi : koordinasi antara General Superintendant dengan Material Superintendant atau dengan Construction Engineer atau dengan Equipment Superintendant.
b. Field Supervision Team, koordinasi antara Site Engineer dengan Quantity Engineer atau dengan Quality Engineer merupakan koordinasi vertikal dan bersifat hirarkis.
- Koordinasi horizontal dan bersifat satu level:
a. Pelaksanaan konstruksi, koordinasi antara Material Superintendant dengan Construction Engineer atau dengan Equipment Superintendant merupakan.
b. Field Supervision Team, koordinasi antara Quantity Engineer atau dengan Quality Engineer merupakan koordinasi horizontal dan bersifat satu level.
- Koordinasi diagonal:
Koordinasi antara General Superintendant dengan Site Engineer merupakan koordinasi horizontal dan bersifat satu level, sedangkan koordinasi antara Kepala Satuan Kerja Pekerjaan Civil Works dengan General Superintendant atau dengan Site Engineer merupakan koordinasi vertikal.
C. Actuating
Actuating diartikan sebagai fungsi manajemen untuk menggerakkan orang yang tergabung dalam organisasi agar melakukan kegiatan yang telah ditetapkan di dalam planning. Pada tahap ini diperlukan kemampuan pimpinan kelompok untuk menggerakkan; mengarahkan; dan memberikan motivasi kepada anggota kelompoknya untuk secara bersama-sama memberikan kontribusi dalam menyukseskan manajemen proyek mencapai tujuan dan sasaran yang telah ditetapkan.
Berikut ini beberapa metoda mensukseskan “actuating” yang dikemukakan oleh George R. Terry, yaitu:
- Hargailah seseorang apapun tugasnya sehingga ia merasa keberadaannya di dalam kelompok atau organisasi menjadi penting.
- Instruksi yang dikeluarkan seorang pimpinan harus dibuat dengan mempertimbangkan adanya perbedaan individual dari pegawainya, hingga dapat dilaksanakan dengan tepat oleh pegawainya.
- Perlu ada pedoman kerja yang jelas, singkat, mudah difahami dan dilaksanakan oleh pegawainya.
- Lakukan praktek partisipasi dalam manajemen guna menjalin kebersamaan dalam penyelenggaraan manajemen, hingga setiap pegawai dapat difungsikan sepenuhnya sebagai bagian dari organisasi.
- Upayakan memahami hak pegawai termasuk urusan kesejahteraan, sehingga tumbuh sense of belonging dari pegawai tersebut terhadap tempat bekerja yang diikutinya.
- Pimpinan perlu menjadi pendengar yang baik, agar dapat memahami dengan benar apa yang melatarbelakangi keluhan pegawai, sehingga dapat dijadikan bahan pertimbangan dalam pengambilan sesuatu keputusan.
- Seorang pimpinan perlu mencegah untuk memberikan argumentasi sebagai pembenaran atas keputusan yang diambilnya, oleh karena pada umumnya semua orang tidak suka pada alasan apalagi kalau dicari-cari agar bisa memberikan dalih pembenaran atas keputusannya.
- Jangan berbuat sesuatu yang menimbulkan sentimen dari orang lain atau orang lain menjadi naik emosinya.
- Pimpinan dapat melakukan teknik persuasi dengan cara bertanya sehingga tidak dirasakan sebagai tekanan oleh pegawainya.
- Perlu melakukan pengawasan untuk meningkatkan kinerja pegawai, namun haruslah dengan cara-cara yang tidak boleh mematikan kreativitas pegawai.
D. Controlling
Controlling diartikan sebagai kegiatan guna menjamin pekerjaan yang telah dilaksanakan sesuai dengan rencana. Didalam manajemen proyek jalan atau jembatan, controlling terhadap pekerjaan kontraktor dilakukan oleh konsultan melalui kontrak supervisi, dimana pelaksanaan pekerjaan konstruksinya dilakukan oleh kontraktor. General Superintendat berkewajiban melakukan controlling (secara berjenjang) terhadap pekerjaan yang dilakukan oleh staf di bawah kendalinya yaitu Site Administration, Quantity Surveyor, Materials Superintendant, Construction Engineer, dan Equipment Engineer untuk memastikan masing-masing staf sudah melakukan tugasnya dalam koridor “quality assurance”. Sehingga, tahap-tahap pencapaian sasaran sebagaimana direncanakan dapat dipenuhi.
Kegiatan ini juga berlaku di dalam kegiatan internal konsultan supervisi; artinya kepada pihak luar konsultan supervisi itu bertugas mengawasi kontraktor, selain itu secara internal Site Engineer juga melakukan controlling terhadap Quantity Engineer dan Quality Engineer. Secara keseluruhan internal controlling ini dapat mendorong kinerja konsultan supervisi lebih baik di dalam mengawasi pekerjaan kontraktor.
Ruang lingkup kegiatan controlling mencakup pengawasan atas seluruh aspek pelaksanaan rencana, antara lain adalah:
- Produk pekerjaan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif
- Seluruh sumber-sumber daya yang digunakan (manusia, uang , peralatan, bahan)
- Prosedur dan cara kerjanya
- Kebijaksanaan teknis yang diambil selama proses pencapaian sasaran.
Controlling harus bersifat obyektif dan harus dapat menemukan fakta-fakta tentang pelaksanaan pekerjaan di lapangan dan berbagai faktor yang mempengaruhinya. Rujukan untuk menilainya adalah memperbandingkan antara rencana dan pelaksanaan, untuk memahami kemungkinan terjadinya penyimpangan.

Investigasi Kecelakaan



Pernahkah anda melihat kecelakaan pada lingkungan kerja anda? Pernahkah anda mengalaminya sendiri?? Kecelakaan pada lingkungan kerja adalah salah satu bagian dari kejadian terkait K3 dan lingkungan di perusahaan. Incident / insiden / kejadian dibagi menjadi 2 jenis yaitu :

  1. near miss / nyaris /hampir
  2. accident / kecelakaan
File presentasi dibawah ini membahas bagaimana kita melakukan investigasi bila menghadapi sebuah insiden sehingga bila judulnya hanya investigasi kecelakaan tapi bisa digunakan dalam melakukan investigasi pada kejadian nyaris / hampir celaka. 

OHSAS 18001:2007 Sistem Manajemen Keselamatan Kerja



Sistem Manajemen kesehatan dan keselamatan kerja merupakan sistem manajemen yang mempunyai ragam standar. Di indonesia kita mengenal SMK3 ~ Sistem Manajemen K3 yang berdasarkan peraturan menteri tenaga kerja no tahun 1996. Sedangkan dalam standar yang umum kita mengenal OHSAS ~ Occupation Health and Safety Assessment Series yang edisi terakhirnya terbit tahun 2007. Pada dasarnya standar ini merujuk pada standar Sistem Manajemen Lingkungan ISO 14001:2007 yang diterbitkan oleh ISO, yang kemudian di dibuat standar oleh British Standard Institute sebagai rujukan universal pengeloaan manajemen K3 mengingat begitu banyaknya standar K3 yang berlaku terutama di perusahaan perminyakan. Bagaimanapun inggris sebagai asal muasalnya standar ISO mempunyai wibawa yang cukup tinggi dalam mempengaruhi perkembangan standar di dunia internasional, apalagi standar yang di kreasikan pada OHSAS 18000 yang merujuk pada ISO 14000 mempunyai keluwesan yang cukup tinggi untuk di terapkan di seluruh organisasi tidak hanya terbatas pada perusahaan minyak saja. Selain merujuk pada ISO 14000, pola manajemen pada OHSAS 18000 juga merujuk pada standar ILO-OSH : 2001 Guidelines on occupational safety and health management system yang di tetapkan oleh ILO sebagai badan dunia di bawah PBB yang mengatur urusan ketenagakerjaan

Seperti yang dijelaskan di atas bahwa standar ini merujuk pada ISO 14000 dengan pola yang sama baik dalam prinsip manajemennya yang berlandaskan PDCA maupun pada pola uraian persyaratan. Perbedaan yang signifikan hanya terletak pada teknik analisa resiko yang dilakukan. Bila pada manajemen lingkungan kita mengenal analisa aspek dan dampak maka pada manajemen k3 kita mengenal identifikasi bahaya dan analisa resiko pekerjaan. Secara umum tingkat kedetilan pada analisa resiko lebih tinggi di bandingkan analisa aspek dan dampak dikarenakan posisi manusia sebagai faktor analisa dan pelaku proses yang lebih kompleks.

Kita lihat pola manajemen yang diterapkan pada gambar di bawah ini yang saya ambil dari standard dalam bahasa inggris
 

Tapi dikarenakan persyaran standar ini bukan resmi dari suatu lembaga resmi ISO maka anda tidak akan menemukan terjemahan resmi dari standar ini dalam bahasa indonesia. Meskipun begitu anda dapat menemui beberapa versi terjemahan bahasa indonesia yang dilakukan oleh individu individu tertentu untuk mmudahkan pemahaman dalam implementasi di lapangan. Jadi kalo anda merasa lebih jago dalam bahasa inggris, lebih baik anda mencari file standar tersebut yang dalam versi bahasa inggrisnya, sedangkan bagi saya yang bahasa inggrisnya pas – pasan yang sering merujuk pada om google dalam sebuah terjemahan mungkin akan lebih baik mencari terjemahan tidak resmi kemudian menafsirkan sendiri sesuai dengan vocabulary terbatas serta di tambah dengan pengalaman di lapangan.
Persyaratan standarnya seperti ISO 14000 adalah sebagai berikut :


0   Introduction
1   Scope
2   Normatife references
3   Terms and definitions
4   OH&S management system element
4.1    General Requirement
4.2    OH&S Policy
4.3    Planning
4.3.1     Hazard Identification, Risk Assessment and determining controls
4.3.2     Legal and other Requirement
4.3.3     Objectives and programs
4.4   Implementation and Operation
4.4.1     Resources, roles, responsibility, accountability and authority
4.4.2     Competence, training and awareness
4.4.3     Communication, participation and consultation
4.4.4     Documentation
4.4.5     Control of document
4.4.6     Operational control
4.4.7     Emergency, preparedness and responses
4.5    Checking
4.5.1     Performance measurement and monitoring
4.5.2     Evaluation of compliances
4.5.3     Incident investigation, non conformity, corrective action and preventive action
4.5.3.1     incident investigation
4.5.3.2     non conformity, corrective action and preventive action
4.5.4     control of record
4.5.5     internal audit
4..6   management review

Penerapan Sistem Manajemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja (SMK3)(Pemenuhan Peraturan)




Ketika kita membahas Sistem Manajemen Lingkungan, sistem manajemen K3 berdasarkan OHSAS 18001:2007 atau Permen 05/1996 maka pemenuhan peraturan menjadi 1 dari 2 dasar pembentukan sistem. Dasar lainnya adalah analisa dampak lingkungan untuk sistem manajemen lingkungan atau analisa resiko bahaya untuk OHSAS 18001:2007 dan smk3. Jadi tulisan ini meski nantinya akan lebih banyak berobjek pada K3 tapi sebenarnya bisa juga diterapkan pada manajemen lingkungan. Bila anda berfikir bahwa Indonesia mempunyai peraturan K3 dan lingkungan yang sedikit dikarenakan kondisi negara kita maka sebaiknya anda berfikir ulang mempelajari kebiasaan negara kita. Karena kebiasaan Negara kita adalah gemar sekali membuat peraturan bahkan bisa dibilang bahwa peraturan tentang K3 dan lingkungan di Indonesia cukup lengkap tapi memang harus kita maklumi terkait penegakan peraturan serta implementasinya di lapangan hehehe. Oh  ya harus saya tekankan juga bahwa ISO sangat menjunjung tinggi aturan lokal sehingga bila ada aturan atau standar yang bertabrakan dengan standar luar bisa dibilang bahwa kita mempunyai kewajiban untuk mengikuti aturan lokal kita. Baru bila tidak ada aturan terkait maka  disarankan untuk menggunakan standar internasional dalam penerapan standar k3 dan lingkungan.
Pemenuhan peraturan merupakan upaya untuk memenuhi persyaratan 4.3.2 pada OHSAS 18001:2007 atau persyaratan pada lampiran permen 05/1996 bagian 2.2. Pada dasarnya anda diminta untuk melakukan identifikasi peraturan terkait dengan bisnis perusahaan serta melakukan upaya2 yang di anggap perlu dalam memenuhi ketentuan pada peraturan. Sistem manajemen K3 juga meminta anda melakukan pemutakhiran peraturan dengan meninjau per periode tertentu apakah terdapat peraturan terbaru terkait dengan bisnis perusahaan anda. Seperti yang kita pelajari jaman2 kita sekolah dulu bahwa hierarki peraturan kita yang paling atas adalah UUD 45 yang telah di revisi setelah itu baru ke UU yang diterbitkan pemerintah dst hingga ke peraturan daerah.
Biasanya saya meminta perusahaan melihat daftar peraturan yang telah saya unggah di blog ini dan kemudian menyesuaikannya atau saya yang melihat sendiri bisnis perusahaan bergerak dibidang apa dan kemudian menambahkan list peraturan yang perlu di penuhi oleh perusahaan. Setelah itu saya memberikan beberapa update peraturan terbaru dikarenakan himpunan peraturan perundangan yang saya unggah tsb dibuat pada tahun 2005 sehingga perlu di tambahkan peraturan terbaru. Selain itu saya juga memberikan semacam highlight (ini bhs indonesianya apa yah??) terkait dengan pasal-pasal krusial dalam peraturan tsb yang harus dipatuhi. Untuk membuat lebih mudah dalam melihat dan memeriksa kepatuhan kita pada peraturan biasanya saya membuat table seperti di bawah ini
No
No Peraturan
Judul
Uraian
Instansi terkait
Pemenuhan
Rencana Pemenuhan
Saya juga memberikan catatan baik dalam form atau pun dalam prosedur bahwa minimal setiap 6 bulan sekali harus dilakukan peninjauan terhadap pemutakhiran peraturan. Untuk memudahkan identifikasi terhadap peraturan umumnya saya membagi menjadi 2 tema yaitu terkait dengan “
1. tema / pokok masalah peraturan tersebut
    Tema bisa dibedakan menjadi terkait APD, limbah, perijinan peralatan, atau pun lainnya
2. hierarki peraturan tersebut
     Dibedakan menjadi UU, PP, Kepmen, Perda dsb
Pembagian seperti ini hanya untuk memudahkan dalam penelusuran peraturan serta dalam melakukan kewajiban untuk melakukan pemutakhiran peraturan terbaru. Bagaimanapun ini terserah kita bagaimana menerapkan dokumentasi serta merencanakan pemenuhan peraturan sesuai dengan kemampuan perusahaan
Selain itu terkait dengan persyaratan komunikasi dalam OHSAS, SMK3 ataupun ISO 14000 maka disarankan anda melakukan sosialisasi terhadap peraturan terkait kepada seluruh karyawan. Untuk itu pada setiap safety meeting /  pertemuan secara berkala dalam rangka sosialisasi tentang K3 atau lingkungan saya menyarankan untuk melakukan sosialisasi 1 topik tentang pemenuhan peraturan berikut bagaimana cara mematuhinya serta ancaman hukuman yang timbul dari peraturan tersebut.